Mengikuti kisah lika-liku perjalanan hidup I Kadek Pardana bagaikan mengarungi sungai yang panjang dan berkelok. Sewaktu-waktu ada kejutan yang menanti di depan tanpa dapat diprediksi. Entah itu kelokan, curaman, atau sebuah air terjun. Tatkala tiap etape dapat dilalui itu artinya sudah dekat dengan titik yang dituju, yaitu muara kesuksesan. Namun yang patut diteladani bukanlah apa dan berapa banyak yang telah ia raih sekarang. Melainkan bagaimana strateginya menikmati tiap proses demi proses perjuangan hidup.
Sebagian orang lebih mengenalnya dengan sapaan Made Profil. Meski itu bukan nama yang diberikan kedua orang tuanya, namun cukup banyak yang lebih awam memanggilnya dengan nama tersebut. Identitas itu melekat pada pria bernama asli Kadek Pardana ini lantaran sukses merintis serta membangun usaha di beberapa bidang. Bisnisnya yang menggurita mulai dari properti, kayu, mebel, toko bangunan, hingga transportasi bernaung di bawah group usaha Made Profil. Seakan lebih menancapkan branding tersebut ke masyarakat ia juga menggunakan nama itu pada badan usahanya yaitu PT. Made Profil Pardana.
Sebagai putra daerah yang sukses memajukan industri properti di Kabupaten Jembrana dengan pencapaiannya yaitu menjual 450 unit hunian. Baik rumah bersubsidi maupun komersial. Namun siapa sangka ia sendiri pernah mencicipi pengalaman berkarier sebagai asisten kuli bangunan selama bertahun-tahun. Keputusan mengambil langkah profesi tersebut dilatarbelakangi oleh kondisi ekonomi dan keterbatasan pendidikan yang dimiliki Kadek Pardana.
Ia merupakan bungsu dari dua bersaudara yang bertumbuh di tanah transmigran, tepatnya di Sulawesi Tenggara. Meski di sana memiliki sebidang tanah namun perjuangan meniti kehidupan tidaklah mudah. Getirnya hidup akibat himpitan ekonomi menjadi hal yang biasa baginya. Saat duduk di bangku kelas 2 SMP ia dan keluarganya kembali ke Bali dan tinggal di Jembrana. Tantangan di kampung halaman tak berbeda dengan di tanah transmigran. Demi mengakses pendidikan ia harus menempuh jarak sekitar tujuh kilometer. Terkadang ia menumpang dengan temannya yang memiliki motor, namun hal itu harus dibayar dengan pandangan sinis orang tua temannyanya karena ia dianggap merepotkan.
Akhirnya keputusan untuk berhenti merajut asa melalui pendidikan terpaksa ia pilih. Di usianya yang baru memasuki belasan tahun harus menanggung tanggung jawab sebagai tulang punggung keluarga yakni sebagai asisten pekerja bangunan. Hasil kerja ia berikan kepada ibunya untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Di luar pekerjaannya, Kadek Pardana juga mengasah skill yang lain yaitu kemampuan mengukir. Hasil karyanya yang rapi dan menawan menarik seorang pengusaha untuk memperkerjakannya. Upah bekerja sebagai tukang ukir ia sisihkan untuk membayar kursus mengemudi. Setelah menguasai ilmu berkendara serta mengantongi SIM, Kadek Pardana memiliki keberanian merantau ke Badung demi mencari pekerjaan.
Sejak bekerja sebagai sopir transportasi pariwisata, kehidupan ekonomi Kadek Pardana kian membaik. Tiba di tahun 2007 ia memutuskan meresmikan hubungan dengan wanita pujaan hatinya. Setelah menikah, ia dihadapkan pada kewajiban adat yang mengharuskan ia untuk kembali menetap di kampung halaman. Di sana ia kembali menekuni pekerjaan membuat ukiran dan menerima pesanan seputaran wilayah Jembrana. Sempat juga ia mencoba usaha distributor janur ke Denpasar, bahkan hingga mencicil kendaraan pengangkut. Namun hal itu tak berlangsung lama.
Suatu ketika ia menghadiri sebuah acara keluarga di Karangasem, di sana ia bertemu dengan pengusaha pengepul kayu nangka. Melalui informasi yang ia dapatkan, bahwa kayu nangka cukup diminati wilayah Bali timur hingga Lombok untuk digunakan sebagai material pembangunan tempat suci. Sebaliknya di Bali Barat alias di tempat tinggal Kadek Pardana, kayu jenis tersebut kurang laku. Peluang ini tak disia-siakannya dengan mengumpulkan kayu nangka dari Kecamatan Pekutatan hingga ke Melaya. Kemudian dijual ke Karangasem.
Melalui jerih payah berbisnis kayu ia mampu membeli mesin pembuat mebel sehingga ia tidak hanya menjual bahan mentah melainkan dapat mendongkrak nilai jual kayu. Pada saat mengembangkan bisnis mebelnya di tahun 2008 itu ia sudah mengusung brand usaha Made Profil. Kemudian melihat potensi usaha penjualan material selain kayu, ia pun memberanikan diri membuka depo bangunan mulai tahun 2014. Di samping itu ia masih tekun mempromosikan usaha mebelnya hingga menembus pasar luar negeri.
Dari toko bangunan, Kadek Pardana dipertemukan dengan peluang usaha lainnya. Seorang temannya tidak hanya ingin membeli bahan bangunan juga meminta langsung membuatkan rumah. Meski hanya memiliki skill sebagai asisten pekerja bangunan, Kadek Pardana yakin akan berhasil menyelesaikan proyek konstruksi tersebut. Ia mengandalkan kemampuan manajerialnya dan menghimpun para pekerja untuk mewujudkan rumah impian temannya tersebut.
Tak disangka di awal langkahnya sebagai pengusaha properti itu menemui tantangan yang sulit. Musibah menimpa sang teman sebelum hasil kerja kerasnya diserahterimakan. Namun Kadek Pardana tak mau larut dalam kegagalan dan mencoba bangkit kembali. Atas kuasa Tuhan ia sukses menjual properti pertamanya dan kemudian menjadi gerbang pembuka menuju kesuksesan sebagai pengusaha properti. Beralih ke proyek properti yang kedua, ketiga dan seterusnya, Kadek Pardana terus mengembangkan usahanya dengan mengibarkan bendera PT. Made Profil Pardana. Dalam setahun ia sukses menjual 120 unit hunian ke pasaran dengan memperkerjakan puluhan tenaga kerja.
Sampai sekarang pun, Kadek Pardana tak percaya sudah sampai pada titik keberhasilan seperti sekarang. Apalagi ia mengawali semuanya dari nol, tanpa berbekal ijazah di sekolah tinggi. Tapi ia membuktikan dirinya mampu membuka lapangan pekerjaan untuk masyarakat yang bisa jadi memiliki tingkat pendidikan yang lebih dari dirinya. Sukses dalam ekonomi dan membina keluarga tercinta tak membuatnya tinggi hati. Ia tetaplah seorang Made Profil yang low profile. Prinsip hidupnya tetap sama, mengerjakan segala sesuatu yang bertujuan memberi manfaat kepada semua pihak dan tidak berorientasi pada profit semata.